PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Dewi
Asiyah, S. Pd. I., MM. Pd
A. Latar Belakang
Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari
ilmu pendidikan yang lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat
dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan
pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia sudah
sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan dikatakan dalam status
stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan
sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan
informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan
para stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan
pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan
kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali kebijakan.
Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar (2009) yang
menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memerhatikan Evidence
Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik
pendidikan.[2]
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama
bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang
sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke
Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun
Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara
pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan
berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan
tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid
dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama
Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan
ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat
sebagai pesantren.
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia
membawa banyak perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan
agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan
kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan
paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan
pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di
Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu
umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus
berlanjut hingga kini. seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan
Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum
diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain,
seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam
pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan
Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali dari wahyu
Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai fenomena
kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala
mengembangkan suatu ilmu.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula
berangkat dari prakarsa dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan,
sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga
pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat.
Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada
ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan 30% agama.[3]
B. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di
Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun
faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu
agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada
masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta
pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah,
pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi
& TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti
TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan
problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di
pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah
yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah
(SMA).
Berdasarkan data yang dikeluarkan (Center for Informatics
Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS
(Education Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah
Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak
36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 %
berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Atas dasar itu,
madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak daripada madrasah negeri
yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu berjuang keras untuk
mempertahankan hidup atau lâ yamûtu walâ yahya diplesetkan menjadi kurang
bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian,
madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini
dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun
rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006
saja diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5,5 juta orang dari sekitar 57 juta
jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.[4]
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari
implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan
di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus,
demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh
dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam
sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat
bagi semua (rahmatan lil alamin).
1.HambatanPolitis:Internal dan Eksternal
Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu
campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah
berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup
kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul
pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang
diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula
materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas
Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau
madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu
seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang
“paling benar” dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan
kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis’ karena
kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus
mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan
kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga tentunya harus
mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolahtersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini
memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di
Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan
keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam
yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu
untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin
mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi
saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam
bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani
tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah iternasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam
(baca: ormas Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga
dihadapkan hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan disebabkan
berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari
harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam.
Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui
memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun
pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar “pelengkap” komponen utama pendidikan
nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara
Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum
(dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan mutu
persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang
sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini
seringkali tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam
(madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan
cenderung diabaikan “neglected community”.
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang
mengemuka sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi
adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang
pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga
sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan
pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum
berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum
bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan
teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen
pendidikan memerlukan keterpaduan penggerakan system sebagai syara tpenting
keberhasilan sistem.
Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung
semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat
menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan
cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala
itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu
mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal,
dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian
cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural
politics, skenario penjajah yang berciri “devide et impera” sukses memisahkan
urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran
untuk tidak memisahkan keduanya.
2.HambatanKultural:InternaldanEksternal
2.HambatanKultural:InternaldanEksternal
Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga
pendidikan Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna
dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang
ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam
ini sebagai “kawah candradimuka” para intelektual yang agamis dan para ulama
yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam dalam
mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis
keislaman disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu
masih rendah. Gejala rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras
menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata
dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi. Pengelola merupakan pencerminan
dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan kultural internal
tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi “agent of change”, para
pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk
ketauhidan social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan
konsisten, menyebarkan budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai
social keislaman lainnya.
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk
menanam-suburkan nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola
pendidikan Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada persepsi masyarakat
terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi cultural umat Islam yang
menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek internal yang saling kait
mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut. Sehingga
kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan
dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat
sudah terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya
berkutat pada masalah agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan
aspek-aspek lainnya seperti kecerdasan intelektual dan sosial.
Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal)
maupun dari luar (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional
yang terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama.
Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat tentang hal itu.
Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih rentan
dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan,
bahkan cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya.
Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa
menjadi boomerang kemajuan umat Islam.
3. Hambatan Manajerial- Internal dan Eksternal
Hambatan penyelenggaraan pendidikan Islam dari sisi
manajerial terjadi juga secara internal dan eksternal. Praktek kepemimpinan di
madrasah sering menunjukkan model tradisional, yakni kepemimpinan
paternalistik, feodalistik dan karismatik. Dominasi senioritas terkadang
mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya
kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang
tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini memunculkan kesan bahwa
meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan senior dianggap tabiat buruk atau
su’ul adab. Iklim ini berlangsung dalam pendidikan Islam di Indonesia. Padahal
manajemen profesional mempersyaratkan perlunya top down serta juga bottom
up approach. Menurut Yukl dan Sharplin dalam Sonhadji (2003) model
kepemimpinan yang mengandalkan sifat dan karismatik tidak akan bertahan lama
dan organisasi modern tidak menerapkannya karena tidak mampu membuat sistem
yang baik.
Perwujudan tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana
diamanatkan dan dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, yang
diperbaharui melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional,
seharusnya melibatkan berbagai sumber daya baik sumber daya manusia maupun non
manusia seperti dana, sarana prasarana, alat-alat, media dan sebagainya. Orang
yang bertanggungjawab untuk mengelola, mengatur, memadukan, dan mengarahkan
semua bentuk sumber daya itu dalam lapangan pendidikan disebut manajer
pendidikan. Di dunia persekolahan/madrasah, tugas-tugas manajerial dilakukan
terutama oleh kepala sekolah/madrasah. Dualisme manajemen pendidikan
Islam merupakan fenomena yang biasa di lembaga pendidikan swasta yang
memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau
pengurus). Meski telah ada garis kewenangan yakni kepala madrasah memegang
kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan
sarana dan prasarana, di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini
bertambah buruk jika di antara pengurus yayasan ada yang menjadi staf pengajar.
Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika
staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang
terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya .
4. Hambatan SDM: Profesionalisme Pengawas, Kepala Madrasah
dan Guru
Istilah professional berasal dari profession, yang
mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan
keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Jadi, para
professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh
pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk suatu pekerjaan.. Oleh karena itu
dituntut kompetensi atau kemampuan profesional dari seorang guru. Kompetensi
profesional merujuk pada kemampuan guru untuk menguasai materi pembelajaran.
Guru harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai subyek yang diajarkan, mampu
mengikuti kode etik profesional dan menjaga serta mengembangkan kemampuan
profesionalnya.
Berbagai permasalahan pembelajaran yang sering dikeluhkan
masyarakat antara lain rendahnya minat guru dalam mengajar, ketidakmampuan guru
mengatasi kesulitan menyusun dokumen-dokumen pembelajaran, kesulitan guru
melaksanakan tugas mengajar menggunakan ketrampilan mengajar yang sesuai dengan
tuntutan materi pelajaran, ada guru yang selalu ketinggalan informasi
pembaharuan bidang pembelajaran, kurangnya koordinasi antar kolega, model dan
strategi pembelajaran yang tidak efektif dan permasalahan lain yang berkaitan
dengan pembelajaran.
Di lain pihak ada pemahaman di antara guru bahwa kegiatan
supervisi baik yang dilakukan oleh pengawas sekolah/madrasah maupun kepala
sekolah/madrasah diidentikkan dengan evaluasi sehingga guru lebih cenderung
resah ketika menerima supervisi tersebut karena merupakan program dari atasan.
Pelaksanaan supervisi selama ini sifatnya mencari kelemahan para guru sehingga
para guru merasa waswas bila didatangi supervisor. Sasaran pengamatan yang
dilakukan supervisor terlalu luas dan bersifat umum sehingga sukar memberikan
umpan balik yang terarah dan bermanfaat bagi pembelajaran siswa di kelas. Umpan
balik hanya bersifat pengarahan yang mengedepankan power bahkan
serangkaian instruksi yang berbau ancaman dan tidak melibatkan guru dalam
menganalisis dirinya serta tidak menemukan cara mengatasi kesulitan guru dalam
mengajar. Selain itu supervisor jarang melakukan monitoring keberadaan proses
belajar di dalam kelas, hanya mengandalkan laporan dokumen yang diberikan guru.
Munculnya permasalahan pembelajaran tersebut tentu saja
disebabkan berbagai hal misalnya pembinaan yang kurang efektif dari supervisor,
rendahnya hubungan kolegial guru melakukan tukar pengalaman mengenai
pembelajaran, terlalu sedikitnya informasi baru mengenai pembelajaran yang bisa
diakses oleh guru dan lain-lain. Semua permasalahan tersebut sebetulnya tidak
perlu terjadi jika profesionalisme yang tinggi ada pada supervisor dan juga
pendidik. Jika ada kemauan bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pembelajaran maka permasalahan kesulitan mengajar bagi guru akan dapat teratasi
melalui kegiatan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas
sekolah/madrasah, kepala sekolah/madrasah dan teman sejawat guru melalui
kegiatan supervisi (Sagala, 2010).
Adapun sasaran utama supervisi pembelajaran adalah guru,
yaitu membantu guru dengan cara melakukan perbaikan situasi belajar-mengajar
dan menggunakan ketrampilan mengajar dengan tepat. Bantuan melalui kegiatan
supervisi pembelajaran guru akan mampu mengidentifikasi perilaku guru yang
mendasari konsep pembelajaran. Dalam hal ini supervisor membantu guru antara
lain menyusun silabus dan RPP mengacu pada standar isi, memberikan contoh dan
menjelaskan penggunaan model dan strategi pembelajaran, mengulang pertanyaan
dan penjelasan jika siswa tidak memahaminya (Sagala, 2010).
Melalui pelaksanaan supervisi pembelajaran yang dilakukan
oleh supervisor maka kondisi nyata di kelas tentang rendahnya mutu layanan
belajar dapat dilihat bersama. Rendahnya mutu layanan belajar di kelas dapat
saja sebagai akibat antara lain dari tata kelola sekolah yang tidak baik,
pengawasan sekolah yang kurang berkualitas, rendahnya kualitas guru dalam
mengajar, minimnya fasilitas pembelajaran yang kesemuanya itu berdampak negatif
terhadap keberhasilan sekolah.
Keberadaan yang salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan profesionalisme guru ternyata pada prakteknya menemui berbagai
kendala dan persoalan. Beban kerja yang mempersyaratkan guru melakukan tatap
muka paling sedikit 24 jam/minggu cukup memberatkan. Kenapa demikian? Karena
merancang tatap muka yang efektif, seorang guru tentu membutuhkan waktu
persiapan yang cukup lama bahkan effort-nya berat. Dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran,
melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi
hasil pembelajaran Hal lain yang belum dibahas UU tersebut adalah kedudukan,
kesejahteraan dan keikutsertaan para guru swasta dalam sertifikasi yang
dipersyaratkan UU Guru dan Dosen. Kompetensi guru terkait dengan
profesionalisme. Profesi keguruan merupakan jabatan yang dilandasi oleh
berbagai kemampuan dan keahlian.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar
Kompetensi Guru menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan oleh guru terbagi
atas empat kategori, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat macam kompetensi
ini dijadikan landasan dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan tenaga
kependidikan. Berbagai program pengembangan profesionalisme guru selama ini
lebih memerhatikan kompetensi pedagogik dan professional (penguasaan metode dan
materi ajar). Padahal kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial
merupakan domain kompetensi emosional yang berdasarkan hasil penelitian Goleman
(1995, 1998) telah terbukti menyumbang 80% keberhasilan kinerja/pekerjaan
seseorang (achieved performance).
Guru sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk
mengembangkan potensi yang ada pada siswa memiliki tanggung jawab besar yang
memungkinkan berhasil atau tidaknya ia mengembangkan potensi siswanya. Dalam prosesnya
hingga kini masih banyak ditemukan kemungkinan-kemungkinan yang bersifat
negatif yang menjadi penghalang keberhasilan tujuan yang diharapkan. Tidak
semua guru yang dididik dalam lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan
kualified. Jika boleh dikata, masyarakat kita saat ini sudah terlanjur
mempercayai, mengakui dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan
anak-anaknya kepada guru. Kepercayaan masyarakat terhadap guru untuk mendidik
anak-anak mereka merupakan implikasi dari pengakuan masyarakat akan profesi
guru. Namun kenyataan dilapangan tidak berbanding lurus dengan apa yang
diharapkan. hal ini tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi guru dalam
menyikapi kepercayaan masyarakat ini. Dalam hal ini, guru haruslah memiliki
kualitas yang memadai. Kualitas ini tidak hanya pada tataran normative semata,
akan tetapi juga pada aspek yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik,
kompetensi personal (kepribadian), kompetensi sosial maupun kompetensi
profesional.
Permasalahan yang terjadi dilapangan seringkali menjadi
hambatan bagi proses yang berlangsung. Dalam hal ini diperlukan adanya satu
formula yang tepat untuk dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan proses yang sedang berlangsung, khususnya dalam proses belajar
mengajar. Supervisi sebagai salah satu alternatif solusi bagi pemecahan masalah
yang dihadapi dalam proses belajar mengajar disekolah khususnya dikelas menjadi
sesuatu yang mutlak diperlukan, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang bersifat
negatif yang menjadi penghambat dalam proses itu dapat teratasi tentunya dengan
cara-cara yang bijak dan professional
5. Hambatan Ekonomis: Internal dan Eksternal
Berdasarkan data yang diperoleh siswa putus sekolah (drop
out dari madrasah cukup tinggi, tercatat Pada tahun ajaran 2008/ 2009, siswa
yang putus sekolah di tingkat madrasah ibtidaiyah (MI) tercatat 12.161 dari
2.916.227 siswa, madrasah tsanawiyah (MTs) 18.723 dari 2.437.262 siswa, dan
madrasah aliyah (MA) 4.290 dari 397.366 siswa. Sementara pada tahun ajaran
2009/2010, jumlah siswa yang putus sekolah di MI sebanyak 7.364 siswa, MTs
9.101 siswa, dan MA sebanyak 3.405 siswa. Meski menurun, angka tersebut masih
lebih tinggi dibanding jumlah siswa putus sekolah di lembaga pendidikan umum.
Tingginya angka putus sekolah di madrasah sebagian besar dilatarbelakangi
faktor ekonomi. Hal ini karena para orang tua siswa yang umumnya hidup dengan
tingkat kesejahteraan dan perekonomian yang rendah. Kondisi ini berimbas pada
citra yang dilekatkan pada lembaga pendidikan madrassah yakni sebagai lembaga
pendidikan bagi siswa tak mapu. Padahal, tak sedikit siswa madrasah
berpotensi (Angka Putus Sekolah di Madrasah Masih Tinggi, Republika, 23 Maret
2011).
Pemerintah (Kementerian Agama) memiliki dana pendidikan yang
terbatas sementara jumlah madrasah sangat banyak. Oleh karena itu pengelolaan
dana pendidikan menjadi hal yang mendesak diperhatikan. Suatu sekolah haruslah
memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengalokasikan dana pendidikan sehingga
sumber daya yang berupa uang dapat diberdayakan secara optimal. Dari
hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas penyusunan anggaran, partisipasi stakeholder
dalam pengelolaan dana pendidikan dan pengawasan pengelolaan dana pendidikan
oleh komite sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan,
sedangkan kualitas laporan keuangan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kualitas pendidikan.
Problem putus sekolah yang masih tinggi di madrasah
disinyalir karena pengelolaan dana pendidikan belum maksimal. Jumlah madrasah
negeri sangat sedikit dibanding jumlah madrasah swasta. Itu berarti Kementerian
Agama sebagai Pembina dan Pengendali operasional sekolah madrasah tidak hanya
terpaku membantu persoalan pendanaan madrasah negeri, sebab mayoritas populasi
siswa madrasah berada di madrasah swasta. Terlebih lagi kondisi lingkungan
kemasyarakatan dan status sosial keluarga siswa madrasah swasta belum
sepenuhnya menunjang kelancaran program madrasah dalam meningkatkan kualitas
siswa secara optimal. Masalah ekonomi dan pengelolaan dana pendidikan menjadi
hal yang krusial.
6. Hambatan Paradigma Entrepreneurship &
Pengembangan Usaha Produktif
Sekolah berkualitas tidak selalu harus mahal, tetapi memang
untuk menjadikan sekolah itu berkualitas memerlukan dana yang tidak sedikit.
Mahal bersifat relative dan erat berkaitan dengan biaya. Biaya tinggi (high
cost) seolah telah menjadi fenomena dunia pendidikan dalam mengelola
dana-dana yang dibutuhkan bagi operasionalisasi kegiatan persekolahaan.
Kegiatan pendidikan memang memerlukan dana, tetapi jika tidak dikelola dengan
paradigma yang tepat maka pembiayaan pendidikan menjadi jauh dari keefektifan
pembiayaan (cost effectiveness).
Pola pikir penyelenggara sekolah/madrasah perlu dirubah
dalam mengelola dana pendidikan. Efisiensi yang bertumpu pada cost
effectiveness semestinya dapat menjadi prinsip kerja pengelola dana
pendidikan. Prinsip manajemen ekonomi yaitu sinergi antara efektifitas dan
efisiensi yang memunculkan produktivitas kiranya dapat diterapkan juga pada
dunia pendidikan dalam konteks tata pandang entrepreneurship atau
kewirausahaan di madrasah.
Entrepreneurial school/university atau pendidikan
berwawasan kewirausahaan telah menjadi motto dan perhatian dunia
pendidikan. Namun kenyataan lingkungan sekolah belum sepenuhnya sadar secara
faktual akan pentingnya membentuk jiwa kewirausahaan. Sebagian mereka
tampak kurang menyadari akan arti penting mengembangkan usaha produktif.
Birokrasi sekolah tidak selalu kondusif bagi untuk mengaktualisasi dan
mengekspresikan jiwa dan semangat bisnisnya. Padahal, untuk menumbuhkembangkan
jiwa kewirausahaan dan membentuk karakter entrepeneurial di
sekolah membutuhkan lingkungan kondusif. Kegiatan/ program menumbuhkembangkan
jiwa kewirausahaan di sekolah mulai perlu disosialisasikan.
Paradigma entrepreneurship berbeda dengan
komersialisasi. Jika karakter kewirausahaan menanamsuburkan pola-pola pikir
kreatif, menciptakan produk/gagasan dan menjadikannya memiliki nilai tambah
ekonomis, maka komersialisasi merupakan kegiatan “menghalalkan segala cara” melanggar
rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang yang dimiliki. Contoh dari
komersialisasi di dunia pendidikan misalnya menjadikan obyek terdidik (siswa
dan mahasiswa) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan dari
biaya buku, biaya gedung, SPP yang mahal dan lain-lain. Bentuk komersialisasi
seperti ini harus dikikis dan jauh dari mentalitas penyelenggara pendidikan
diganti dengan paradigma entrepreneurship. Saat ini pemangku kepenting
lebih mudah menaikkan SPP untuk menutupi dana operasional.
Daftar Bacaan
- Fathi Ali Yunus. 2009. At-Tarbiyah ad-Diniyah al- Islamiyah baina al- Ashalal wa al-Mu’asharah.
- Jurnal Ilmiah. Gontor Media Perekat Umat. Edisi 12 April 2011.
- Ibnu Kaldun. 2010. Sosiologi Islam. Rineka Cipta; Yogjakarta,
- Majalah Gontor, Edisi 01 IX Mei 2011/Jumadil Kahir 1432 H
- Efendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Islam di Indonesia; Paramadina. Jakarta.
- IG.A.K. Wardani, dkk. 2009. Persfektif Pendidikan di SD. Universitas Terbuka. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar