Senin, 16 September 2013

Makalah Problema Pendidikan Islam di Era Globalisasi



PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Dewi Asiyah, S. Pd. I., MM. Pd
A. Latar Belakang
Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari ilmu pendidikan yang lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan dikatakan dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memerhatikan Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan.[2]
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren.
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini. seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala mengembangkan suatu ilmu.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari prakarsa dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan 30% agama.[3]
B. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Berdasarkan data yang dikeluarkan (Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau lâ yamûtu walâ yahya diplesetkan menjadi kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5,5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.[4]
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
1.HambatanPolitis:Internal dan Eksternal
Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang “paling benar” dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis’ karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolahtersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah iternasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam.
Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar “pelengkap” komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan “neglected community”.
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan memerlukan keterpaduan penggerakan system sebagai syara tpenting keberhasilan sistem.
Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri “devide et impera” sukses memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya.
2.HambatanKultural:InternaldanEksternal
Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam ini sebagai “kawah candradimuka” para intelektual yang agamis dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah. Gejala rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi. Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi “agent of change”, para pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman lainnya.
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut. Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek lainnya seperti kecerdasan intelektual dan sosial.
Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan, bahkan cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam.
3. Hambatan Manajerial- Internal dan Eksternal
Hambatan penyelenggaraan pendidikan Islam dari sisi manajerial terjadi juga secara internal dan eksternal. Praktek kepemimpinan di madrasah sering menunjukkan model tradisional, yakni kepemimpinan paternalistik, feodalistik dan karismatik. Dominasi senioritas terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini memunculkan kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan senior dianggap tabiat buruk atau su’ul adab. Iklim ini berlangsung dalam pendidikan Islam di Indonesia. Padahal manajemen profesional mempersyaratkan perlunya top down serta juga bottom up approach. Menurut Yukl dan Sharplin dalam Sonhadji (2003) model kepemimpinan yang mengandalkan sifat dan karismatik tidak akan bertahan lama dan organisasi modern tidak menerapkannya karena tidak mampu membuat sistem yang baik.
Perwujudan tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana diamanatkan dan dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, yang diperbaharui melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, seharusnya melibatkan berbagai sumber daya baik sumber daya manusia maupun non manusia seperti dana, sarana prasarana, alat-alat, media dan sebagainya. Orang yang bertanggungjawab untuk mengelola, mengatur, memadukan, dan mengarahkan semua bentuk sumber daya itu dalam lapangan pendidikan disebut manajer pendidikan. Di dunia persekolahan/madrasah, tugas-tugas manajerial dilakukan terutama oleh kepala sekolah/madrasah.  Dualisme manajemen pendidikan Islam merupakan fenomena yang biasa  di lembaga pendidikan swasta yang memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meski telah ada garis kewenangan yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini bertambah buruk jika di antara pengurus yayasan ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya .
4. Hambatan SDM: Profesionalisme Pengawas, Kepala Madrasah dan Guru
Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Jadi, para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk suatu pekerjaan.. Oleh karena itu dituntut kompetensi atau kemampuan profesional dari seorang guru. Kompetensi profesional merujuk pada kemampuan guru untuk menguasai materi pembelajaran. Guru harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai subyek yang diajarkan, mampu mengikuti kode etik profesional dan menjaga serta mengembangkan kemampuan profesionalnya.
Berbagai permasalahan pembelajaran yang sering dikeluhkan masyarakat antara lain rendahnya minat guru dalam mengajar, ketidakmampuan guru mengatasi kesulitan menyusun dokumen-dokumen pembelajaran, kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar menggunakan ketrampilan mengajar yang sesuai dengan tuntutan materi pelajaran, ada guru yang selalu ketinggalan informasi pembaharuan bidang pembelajaran, kurangnya koordinasi antar kolega, model dan strategi pembelajaran yang tidak efektif dan permasalahan lain yang berkaitan dengan pembelajaran.
Di lain pihak ada pemahaman di antara guru bahwa kegiatan supervisi baik yang dilakukan oleh pengawas sekolah/madrasah maupun kepala sekolah/madrasah diidentikkan dengan evaluasi sehingga guru lebih cenderung resah ketika menerima supervisi tersebut karena merupakan program dari atasan. Pelaksanaan supervisi selama ini sifatnya mencari kelemahan para guru sehingga para guru merasa waswas bila didatangi supervisor. Sasaran pengamatan yang dilakukan supervisor terlalu luas dan bersifat umum sehingga sukar memberikan umpan balik yang terarah dan bermanfaat bagi pembelajaran siswa di kelas. Umpan balik hanya bersifat pengarahan yang mengedepankan power bahkan serangkaian instruksi yang berbau ancaman dan tidak melibatkan guru dalam menganalisis dirinya serta tidak menemukan cara mengatasi kesulitan guru dalam mengajar. Selain itu supervisor jarang melakukan monitoring keberadaan proses belajar di dalam kelas, hanya mengandalkan laporan dokumen yang diberikan guru.
Munculnya permasalahan pembelajaran tersebut tentu saja disebabkan berbagai hal misalnya pembinaan yang kurang efektif dari supervisor, rendahnya hubungan kolegial guru melakukan tukar pengalaman mengenai pembelajaran, terlalu sedikitnya informasi baru mengenai pembelajaran yang bisa diakses oleh guru dan lain-lain. Semua permasalahan tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi jika profesionalisme yang tinggi ada pada supervisor dan juga pendidik. Jika ada kemauan bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran maka permasalahan kesulitan mengajar bagi guru akan dapat teratasi melalui kegiatan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas sekolah/madrasah, kepala sekolah/madrasah dan teman sejawat guru melalui kegiatan supervisi (Sagala, 2010).
Adapun sasaran utama supervisi pembelajaran adalah guru, yaitu membantu guru dengan cara melakukan perbaikan situasi belajar-mengajar dan menggunakan ketrampilan mengajar dengan tepat. Bantuan melalui kegiatan supervisi pembelajaran guru akan mampu mengidentifikasi perilaku guru yang mendasari konsep pembelajaran. Dalam hal ini supervisor membantu guru antara lain menyusun silabus dan RPP mengacu pada standar isi, memberikan contoh dan menjelaskan penggunaan model dan strategi pembelajaran, mengulang pertanyaan dan penjelasan jika siswa tidak memahaminya (Sagala, 2010).
Melalui pelaksanaan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh supervisor maka kondisi nyata di kelas tentang rendahnya mutu layanan belajar dapat dilihat bersama. Rendahnya mutu layanan belajar di kelas dapat saja sebagai akibat antara lain dari tata kelola sekolah yang tidak baik, pengawasan sekolah yang kurang berkualitas, rendahnya kualitas guru dalam mengajar, minimnya fasilitas pembelajaran yang kesemuanya itu berdampak negatif terhadap keberhasilan sekolah.
Keberadaan yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme guru ternyata pada prakteknya menemui berbagai kendala dan persoalan. Beban kerja yang mempersyaratkan guru melakukan tatap muka paling sedikit 24 jam/minggu cukup memberatkan. Kenapa demikian? Karena merancang tatap muka yang efektif, seorang guru tentu membutuhkan waktu persiapan yang cukup lama bahkan effort-nya berat. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran Hal lain yang belum dibahas UU tersebut adalah kedudukan, kesejahteraan dan keikutsertaan para guru swasta dalam sertifikasi yang dipersyaratkan UU Guru dan Dosen. Kompetensi guru terkait dengan profesionalisme. Profesi keguruan merupakan jabatan yang dilandasi oleh berbagai kemampuan dan keahlian.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan oleh guru terbagi atas empat kategori, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat macam kompetensi ini dijadikan landasan dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan tenaga kependidikan. Berbagai program pengembangan profesionalisme guru selama ini lebih memerhatikan kompetensi pedagogik dan professional (penguasaan metode dan  materi ajar). Padahal kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan domain kompetensi emosional yang berdasarkan hasil penelitian Goleman (1995, 1998) telah terbukti menyumbang 80% keberhasilan kinerja/pekerjaan seseorang (achieved performance).
Guru sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada pada siswa memiliki tanggung jawab besar yang memungkinkan berhasil atau tidaknya ia mengembangkan potensi siswanya. Dalam prosesnya hingga kini masih banyak ditemukan kemungkinan-kemungkinan yang bersifat negatif yang menjadi penghalang keberhasilan tujuan yang diharapkan. Tidak semua guru yang dididik dalam lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Jika boleh dikata, masyarakat kita saat ini sudah terlanjur mempercayai, mengakui dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak-anaknya kepada guru. Kepercayaan masyarakat terhadap guru untuk mendidik anak-anak mereka merupakan implikasi dari pengakuan masyarakat akan profesi guru. Namun kenyataan dilapangan tidak berbanding lurus dengan apa yang diharapkan. hal ini tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi guru dalam menyikapi kepercayaan masyarakat ini. Dalam hal ini, guru haruslah memiliki kualitas yang memadai. Kualitas ini tidak hanya pada tataran normative semata, akan tetapi juga pada aspek yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik, kompetensi personal (kepribadian), kompetensi sosial maupun kompetensi profesional.
Permasalahan yang terjadi dilapangan seringkali menjadi hambatan bagi proses yang berlangsung. Dalam hal ini diperlukan adanya satu formula yang tepat untuk dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan proses yang sedang berlangsung, khususnya dalam proses belajar mengajar. Supervisi sebagai salah satu alternatif solusi bagi pemecahan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar disekolah khususnya dikelas menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang bersifat negatif yang menjadi penghambat dalam proses itu dapat teratasi tentunya dengan cara-cara yang bijak dan professional
5. Hambatan Ekonomis: Internal dan Eksternal
Berdasarkan data yang diperoleh siswa putus sekolah (drop out dari madrasah cukup tinggi, tercatat Pada tahun ajaran 2008/ 2009, siswa yang putus sekolah di tingkat madrasah ibtidaiyah (MI) tercatat 12.161 dari 2.916.227 siswa, madrasah tsanawiyah (MTs) 18.723 dari 2.437.262 siswa, dan madrasah aliyah (MA) 4.290 dari 397.366 siswa. Sementara pada tahun ajaran 2009/2010, jumlah siswa yang putus sekolah di MI sebanyak 7.364 siswa, MTs 9.101 siswa, dan MA sebanyak 3.405 siswa. Meski menurun, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding jumlah siswa putus sekolah di lembaga pendidikan umum. Tingginya angka putus sekolah di madrasah sebagian besar dilatarbelakangi faktor ekonomi. Hal ini karena para orang tua siswa yang umumnya hidup dengan tingkat kesejahteraan dan perekonomian yang rendah. Kondisi ini berimbas pada citra yang dilekatkan pada lembaga pendidikan madrassah yakni sebagai lembaga pendidikan bagi siswa tak mapu. Padahal, tak sedikit siswa madrasah   berpotensi (Angka Putus Sekolah di Madrasah Masih Tinggi, Republika, 23 Maret 2011).
Pemerintah (Kementerian Agama) memiliki dana pendidikan yang terbatas sementara jumlah madrasah sangat banyak. Oleh karena itu pengelolaan dana pendidikan menjadi hal yang mendesak diperhatikan. Suatu sekolah haruslah memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengalokasikan dana pendidikan sehingga sumber daya yang berupa uang dapat diberdayakan secara optimal.  Dari hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas penyusunan anggaran, partisipasi stakeholder dalam pengelolaan dana pendidikan dan pengawasan pengelolaan dana pendidikan oleh komite sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan, sedangkan kualitas laporan keuangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan.
Problem putus sekolah yang masih tinggi di madrasah disinyalir karena pengelolaan dana pendidikan belum maksimal. Jumlah madrasah negeri sangat sedikit dibanding jumlah madrasah swasta. Itu berarti Kementerian Agama sebagai Pembina dan Pengendali operasional sekolah madrasah tidak hanya terpaku membantu persoalan pendanaan madrasah negeri, sebab mayoritas populasi siswa madrasah berada di madrasah swasta. Terlebih lagi kondisi lingkungan kemasyarakatan dan status sosial keluarga siswa madrasah swasta belum sepenuhnya menunjang kelancaran program madrasah dalam meningkatkan kualitas siswa secara optimal. Masalah ekonomi dan pengelolaan dana pendidikan menjadi hal yang krusial.
6. Hambatan Paradigma Entrepreneurship & Pengembangan Usaha Produktif
Sekolah berkualitas tidak selalu harus mahal, tetapi memang untuk menjadikan sekolah itu berkualitas memerlukan dana yang tidak sedikit. Mahal bersifat relative dan erat berkaitan dengan biaya. Biaya tinggi (high cost) seolah telah menjadi fenomena dunia pendidikan dalam mengelola dana-dana yang dibutuhkan bagi operasionalisasi kegiatan persekolahaan. Kegiatan pendidikan memang memerlukan dana, tetapi jika tidak dikelola dengan paradigma yang tepat maka pembiayaan pendidikan menjadi jauh dari keefektifan pembiayaan (cost effectiveness).
Pola pikir penyelenggara sekolah/madrasah perlu dirubah dalam mengelola dana pendidikan. Efisiensi yang bertumpu pada cost effectiveness semestinya dapat menjadi prinsip kerja pengelola dana pendidikan. Prinsip manajemen ekonomi yaitu sinergi antara efektifitas dan efisiensi yang memunculkan produktivitas kiranya dapat diterapkan juga pada dunia pendidikan dalam konteks tata pandang entrepreneurship atau kewirausahaan di madrasah.
Entrepreneurial school/university atau pendidikan berwawasan kewirausahaan telah  menjadi motto dan perhatian dunia pendidikan. Namun kenyataan lingkungan sekolah belum sepenuhnya sadar secara faktual akan  pentingnya membentuk jiwa kewirausahaan. Sebagian mereka tampak kurang menyadari akan arti penting mengembangkan usaha produktif. Birokrasi sekolah tidak selalu kondusif bagi untuk mengaktualisasi dan mengekspresikan jiwa dan semangat bisnisnya. Padahal, untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan  dan membentuk karakter entrepeneurial di sekolah membutuhkan lingkungan kondusif. Kegiatan/ program menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan di sekolah mulai perlu disosialisasikan.
Paradigma entrepreneurship berbeda dengan komersialisasi. Jika karakter kewirausahaan menanamsuburkan pola-pola pikir kreatif, menciptakan produk/gagasan dan menjadikannya memiliki nilai tambah ekonomis, maka komersialisasi merupakan kegiatan “menghalalkan segala cara” melanggar rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang yang dimiliki. Contoh dari komersialisasi di dunia pendidikan misalnya menjadikan obyek terdidik (siswa dan mahasiswa) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan dari biaya buku, biaya gedung, SPP yang mahal dan lain-lain. Bentuk komersialisasi seperti ini harus dikikis dan jauh dari mentalitas penyelenggara pendidikan diganti dengan paradigma entrepreneurship. Saat ini pemangku kepenting lebih mudah menaikkan SPP untuk menutupi dana operasional.
Daftar  Bacaan
  1. Fathi Ali Yunus. 2009. At-Tarbiyah ad-Diniyah al- Islamiyah baina al- Ashalal wa al-Mu’asharah.
  2. Jurnal Ilmiah. Gontor Media Perekat Umat. Edisi 12 April 2011.
  3. Ibnu Kaldun. 2010. Sosiologi Islam. Rineka Cipta; Yogjakarta,
  4. Majalah Gontor, Edisi 01 IX Mei 2011/Jumadil Kahir 1432 H
  5. Efendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Islam di Indonesia; Paramadina. Jakarta.
  6. IG.A.K. Wardani, dkk. 2009. Persfektif Pendidikan di SD. Universitas Terbuka. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar